Click here for Myspace Layouts

Kamis, 14 Oktober 2010

RUTINITAS SANG FITRI

Idul Fitri adalah hari yang sangat spesial bagi umat Islam di belahan bumi manapun dia berada. Khususnya di negeri gemah ripah loh jinawi ini (Indonesia), lebih dikenal dengan istilah "LEBARAN". Lebaran disambut dengan riuh gempita kebahagiaan, senyum sapa kesucian lahir batin dan makanan khas 'Idul Fitri. Berbagai budaya menyemarakkan suasana hari raya di seluruh sudut wilayah nusantara dari mulai daerah TK II sampai ibukota Negara Republik Indonesia. Secara kasat mata tentunya ini menjadi fenomena menarik dan patut dibanggakan bahwa umat Islam begitu peduli merayakan hari raya, artinya hal ini menunjukkan bahwa Agama Islam menjadi nafas keseharian dan identitas jati diri masyarakat negeri, menjadi dasar kebudayaan lokal bangsa serta menjadi standart rujukan nilai-nilai peradaban Bangsa Indonesia. Tetapi, apabila kita gali lebih dalam lagi 'Apakah Agama Islam ini BENAR-BENAR telah seperti yang telah diasumsikan seperti diatas? Apakah fenomena permukaan ini mencerminkan kedalamannya?

Fenomena Idul Fitri/Lebaran melahirkan antusias begitu luar biasa dalam masyarakat yang mestinya menjadi cermin kelulusan kita setelah menjalani madrasah RAMADLAN. Sebuah kebahagian yang melahirkan kedamaian, ketenangan, kesejukan nan fitri berangkat dari perjalanan RAMADLAN penuh makna lahir-batin, dimensi baru pemahaman religius-spiritual dan ruh keagamaan dalam diri anak-anak bangsa, serta kesadaran fitri seorang manusia Khalifah ALLAH di muka bumi. Sebuah kebahagiaan dari dasar-dasar diatas kemudian menjadikan seseorang menjadi ber-Taqwa sebagaimana disebutkan dalam Kitab Suci. Menurut sudut pandang lain, Lebaran adalah ending (akhir) sebuah perjalanan diklat yang panjang dan melelahkan untuk memasuki perjalanan baru ke depan. Idul Fitri/Lebaran adalah tanda bahwa kita siap mengarungi perjalanan berikutnya.

Pada hari raya Idul Fitri/Lebaran semua terasa melebur tanpa dibatasi oleh sekat apapun, semua berlapang dada dan ikhlas berbicara dari hati ke hati tanpa melihat subyektifitas masa lalu kita masing-masing dan tanpa merasa bahkan mengungkit beban diantara seluruh insan-insan manusia. Hari itu semua berkumpul dalam satu irama keanggunan suci nan fitri dibalut kesadaran bahwa diri kita masing-masing adalah sang fitri. Mungkin hanya di hari inilah kita mampu menyatukan perbedaan bukan hanya yang bersifat fisik/lahir tetapi juga ruh/bathin walaupun sebelumnya kita selalu dihadapkan berbagai persoalan yang muncul ketika masing-masing insan manusia berintegrasi dan beraktualisasi dalam kehidupannya. Semuanya luluh, lepas serta bebas tanpa bekas.

Berangkat dari bingkai diatas maka efek hari raya itu seharusnya menjadi warna keseharian insan manusia ke depan. Dia tidak hanya menjadi satu hari khusus sebagaimana layaknya ulang tahun misalnya, hari pernikahan atau hari-hari lainnya. Ia bukan hari khusus yang terpisah dari hari-hari selanjutnya sehingga kita lupa telah melaluinya bahkan lebih parah lagi kita tidak pernah melaluinya seolah-olah hari raya itu tidak ada. Ketika waktu berjalan dalam putaran ritme alam raya, maka sang fitri menjadi sesuatu yang usang serta kadaluarsa, ia tidak layak kita tampilkan walaupun hanya sekedar sedikit sebagai bagian dari sesuatu yang terasa indah, damai dan menyejukkan. Kita menjadi kehabisan logika dan kata-kata untuk melihat juga memaknai Idul Fitri/Lebaran secara jernih dalam mengisi rutinitas keseharian kita.

Dari sebuah sudut pandang, Idul Fitri/Lebaran adalah hari pembuka, ia tersenyum menyapa hari-hari selanjutnya penuh dengan romansa sang fitri. Pesonanya begitu melekat sehingga sulit rasanya melepaskannya, ia menjadi identitas diri penuh makna dan kesadaran dengan dasar kokoh bukan sekedar kepercayaan dari sesepuh yang tidak kita mengerti. Kita tidak punya alasan untuk menanggalkannya, bahkan relung-relung diri kita yang terdalam akan berteriak, memberontak dan memaki diri kita sendiri seolah-olah kita adalah sosok terbodoh yang lebih rendah dari binatang terkotor sekalipun. Mungkin seluruh makhluq alam semesta raya akan mentertawakan kita karena ketidakmampuan memotret dengan jernih apa yang dialami dan dirasakan kemudian dievaluasi sebagai bahan untuk diaplikasikan dalam rutinitas kehidupan hari-hari selanjutnya.

Hari-hari lain adalah hal yang berbeda dari Lebaran. Tetapi apakah benar demikian..Pertanyaannya apakah suasana lebaran tidak ingin kita rasakan di hari-hari selanjutnya? Bukankah nurani kita selalu ingin berjalan dalam keharmonisan, kedamaian dan kesejukan abadi? Benarkah kita sudah menjadikan sang fitri sebagai sahabat sejati dalam realitas kehidupan? Terasa sulit memang menjawab pertanyaan-pertanyaan ini karena pada akhirnya akan kembali kepada diri kita masing-masing apalagi di zaman yang serba BEBAS termasuk BEBAS BERKETUHANAN. Kita terbiasa mengkotak-kotakan hari dan mendefinisikan hari secara terpisah sesuai dengan momentum dan keperluan. Oleh karena itu sudut pandangnya kemudian melihat hanya sisi luar atau kulit, tidak menyentuh esensi atau sisi dalamnya sehingga ia hanya menjadi agenda bukan kesempatan. Ia hanya menjadi bingkai bukan essai dan ia hanya menjadi riuh keramaian bukan relung kesucian

Seseorang boleh memilih way of life (prinsip hidup) seperti apa yang dia inginkan, dalam sudut pandang apa dia melihat hari Idul Fitri/Lebaran, apakah ia merupakan hari pembuka or sekedar hari-hari spesial. Satu diantara dua pilihan yang pada akhirnya akan dipertanggung jawabkan masing-masing individu kelak di hadapan Tuhannya dan tidak ada satupun dapat mempengaruhi (melobby) atau dimintai pemikiran-pendapatnya baik secara individual ataupun komunal (komunitas masyarakat atau bangsa). Bagaimanapun sudut pandang seseorang sangat dipengaruhi kuantitas dan kualitas pemahamannya terhadap konsep Idul Fitri/Lebaran itu sendiri. Persoalannya apakah ada kesadaran untuk senantiasa meng-up grade dan meng-up to date sudut pandang seiring semakin seringnya kita mengalami rutinitas tahunan ini ATAU hanya DIAM, karena dianggap sudah SEMPURNA DAN MUMPUNI…….

BRAVO INDONESIA …………..MAJULAH BANGSAKU
MENGGAPAI
PERADABAN EMAS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar